“Aku harus merayu mereka dan menggali informasi-informasi krusial bukan?” tanyaku yakin. Djosh hanya tersenyum mendengar jawabanku.
“Ya, kurang lebih memang seperti itu. Tapi...”
“Tapi apa?” ujarku ingin tahu.
“Gessa, kau belum menyadari kekuatanmu yang sebenarnya. Potensi yang ada di dalam dirimu sebetulnya lebih besar dari itu.”
“Maksudmu aku punya kekuatan tersembunyi?”
“Bisa dikatakan seperti itu.”
“Kekuatan apa itu?”
Djosh menggeleng.
“Aku tidak bisa memberitahumu, sebab aku sendiri belum yakin apakah dugaanku akan kekuatanmu itu benar atau tidak. Kau harus menemukan sendiri kekuatanmu yang tersembunyi itu.”
Lagi-lagi Djosh memindahkan orang seenaknya. Bila sedetik yang lalu aku berada di ruangannya, kini aku kembali ke kamarku sendiri. Aku tidak langsung mengerjakan apa yang biasanya kulakukan. Aku duduk termenung di tepi tempat tidurku. Rasanya semua ini terlalu cepat. Baru semalam aku merupakan seorang pelacur yang sering dihina orang. Sekarang aku seorang penyelamat dunia.
“Apa istimewanya kamu?” tanyaku pada pantulanku sendiri di cermin. Kulihat semua hal yang ada di sekitarku. Ya, itu barang-barangku. Ya, ini rumahku. Namun entah mengapa seluruhnya jadi terasa begitu asing.
Akupun berdiri dan mengambil jaket untuk menghangatkan diri. Aku melangkahkan kaki keluar dari rumah. Mengapa rumah ini tidak lagi terasa seperti rumah?
Sebuah rumah sederhana dan tidak terlalu besar berdiri di hadapanku. Dari sisa-sisa cat yang terdapat di sana, terlihat bahwa dulunya rumah ini berwarna biru muda. Tapi sekarang rumah ini sudah setengah terbakar dan tertimbun ilalang serta rumput liar.
Dulu ini rumahku. Hingga akhirnya terbakar dan merenggut nyawa kedua orangku. Sampai sekarang aku juga tidak tahu api itu berasal dari mana. Yang pasti kebakaran itu telah membuatku menjadi sebatang kara. Sejak saat itulah aku terpaksa menjadi seorang pelacur untuk menyambung hidup. Hina memang, tapi setidaknya hidup di jalanan mengajarkanmu banyak hal.
Aku tersenyum sedih saat bayangan kedua orang tuaku menyeruak di benakku.
Ayah, Ibu, ini Ningsih. Ningsih yang selalu dapat nilai merah di sekolah. Ningsih yang bandel dan tidak pernah menurut dengan orang tua. Ningsih yang selalu kena marah. Ningsih yang tidak memiliki masa depan cerah. Lihat Ningsih sekarang, Yah, Bu. Ningsih ternyata penyelamat dunia.
Pikiran itu berhasil membuatku termangu untuk sementara. Masih ada satu tempat lagi yang harus kudatangi.
Monday, March 10, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment