Sunday, March 09, 2008

8 - NP

Entah sudah berapa gelas kopi yang kuminum hari ini. Sudah jam enam sore dan aku masih bergeming di depan laptopku.

Aku harus tahu. Aku tidak bisa lari terus.

Udara kebun yang sejuk terasa terlalu menusuk tulangku. Tanganku berkeringat sedari tadi dan aku sadar bahwa kakiku tak pernah berhenti bergerak gelisah di bawah sana. Ternyata kafein tidak cukup untuk menenangkanku. Kepalaku sudah agak terlalu pening saat kuketikkan lagi tiga kata -yang entah untuk keberapa kalinya- di search engine.

Tujuh puluh tujuh.

Kali ini dengan huruf. Dan masih sama hasilnya. Nihil. Aku sudah menelusuri ratusan entry untuk bilangan tujuh puluh tujuh ini dalam berbagai bentuk. 77, tujuh tujuh, 7 puluh 7, tujuh puluh 7, tuju pulu tuju... Dan hasilnya nihil...

Sekonyong-konyong aku teringat lagi pada lelaki asing tadi, ”lengkap sudah 77 orang!!”

Otakku hampir pecah. Aku berusaha keras untuk kembali mengingat setiap kata yang diucapkan lelaki tadi. SnakOm, menyelamatkan dunia, nuklir, empat belas, perang dunia ke-3, virus penyakit, krisis multidimensi, bencana, semua tragedi, semuanya sudah kutelusuri. Dan yang kutemukan tak pernah lebih dari sampah. Aku hampir putus asa. Aku tidak tahu lagi kemana aku harus mencari. Dan di saat itulah suara bariton parau itu terngiang di telingaku.

”Lagipula walaupun Nona hanya seorang pelacur, apakah itu tidak bisa menjadi sebuah kekuatan?”

Begitu bodohnya aku!! Sedari tadi aku berkutat entah mencari apa, ketika kunci sebenarnya adalah aku. Tidak peduli bagaimana organisasi ini bergerak, siapa pemimpinnya, apa latar belakangnya dan segala hal yang tampak penting lainnya, semua ini pada akhirnya akan menyangkut langsung pada diriku. Akhirnya aku mengerti bahwa mereka akan menggunakan diriku. Ya, sepenuhnya diriku. Tubuhku, kelembutanku, kemolekanku, otakku, cintaku, semua elemen dari diriku. Pada detik ini juga, satu kerjapan mata telah merubah keseluruhan dimensi penglihatanku. Lelaki malaikat tengah duduk manis di depanku dan aku menemukan memandang lurus ke dalam matanya, di dalam ruangan di mana kami bertemu pertama kali. Aku begitu tenang, sampai otakku yang jernih bisa mengenali ruangan ini. Aku tahu tempat ini. Aku sudah tahu siapa pria ini.

”Bukan masalah besar bagi saya untuk menekuk lutut mereka,” kali ini aku lebih percaya diri.
”Kau sudah mengerti sekarang,” ujarnya tanpa melepas senyum khasnya.
”Tapi masalah besar bagi saya mengenai identitas dan keselamatan pribadi saya.”
Kali ini aku bisa melihat senyumnya memancarkan kehangatan ketika suara bariton paraunya mengalun tegas: ”Bukan masalah besar bagi kami.”

No comments: