Tapi sebentar… api? Api? Tidak mungkin. Ini semua tidak mungkin.
“Kau kenapa?” tanya Tri yang tiba-tiba muncul di belakangku. Aku hanya menatap batu di hadapanku bingung. Aku bahkan tidak sadar kalau Tri ada di sana.
“Ningsih, kau menangis?” tanya Tri lagi.
Kusentuh pipiku dan mendapati bahwa kata-kata Tri benar. Aku menangis. Tidak. Tidak. Kenangan itu sudah lama tersimpan. Ternyata aku yang salah. Selama ini aku yang salah. Pikiran itu betul-betul membuatku tidak tahan. Aku harus pergi dari sini.
“Ningsih! Mau ke mana?” seru Tri di belakangku. Tak kugubris seruannya. Aku terus berlari dan langsung menuju pintu keluar.
Pras. Aku teringat Pras.
Mobil Ford-ku akhirnya berhenti dengan kencang di depan sebuah rumah tua. Aku turun dan memandanginya sejenak. Kulewati pagar rumahnya yang tidak terkunci. Aku sampai di sebuah pekarangan kecil yang tertata rapi.
“Maaf, cari siapa, ya?” tanya seseorang di belakangku. Aku berbalik dan menemukan seorang lelaki muda dengan bekas luka bakar di wajahnya.
“Ningsih?” ujar lelaki muda itu tidak percaya.
“Pras, kamu –“
“Apa kabar, Ningsih?” seru Pras, memotong ucapanku. Terlihat jelas dia gembira dengan kedatanganku.
“Aku –“
“Mari masuk!”
Sebelum aku sempat menjawab, Pras sudah menggiringku masuk ke rumahnya yang sederhana. Dia menyuruhku duduk, sementara dia sendiri ke dapur dan menyuguhkanku secangkir teh.
“Ada angin apa tiba-tiba kamu ke sini, Ning? Sudah bertahun-tahun lamanya kita tidak bertemu.”
Aku membuka mulut untuk mengeluarkan seluruh kekalutanku. Namun setelah melihat paras Pras yang begitu bahagia, semua kata-kata itu hilang begitu saja. Akhirnya aku hanya memberi senyum kecil padanya.
“Tidak apa-apa. Tiba-tiba teringat kamu saja,” jawabku sekenanya. Setelah itu kami terdiam.
“Kamu ke mana saja selama ini?” tanya Pras lagi. Aku menggeleng.
“Tidak ke mana-mana. Hanya kesana-kemari demi sesuap nasi. Kamu sendiri ke mana saja?”
Pertanyaanku kembali membuat Pras bersemangat. Dia membuka mulut dan mulai bercerita mengenai apa saja yang terjadi pada dirinya sejak terakhir kami bertemu. Sesekali ia tertawa, membuat luka bakar di wajahnya turut bergerak-gerak. Untuk sebagian orang, wajahnya akan menimbulkan kesan mengerikan. Tapi tidak untukku.
Ya Tuhan… Aku penyebab luka bakar itu.
Masih kuingat persis peristiwa api yang membakar wajah Pras itu…
Tuesday, March 11, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment