Ford-ku melenggang anggun di atas aspal nan mulus. Pepohonan rindang dan bunga-bunga cantik menghiasi pinggiran jalan. Berkendara di jalanan ini membuatku merasa seperti sedang berwisata. Kubuka kaca jendelaku, menghirup udara segar yang dibumbui harumnya bunga. Satu belokan ke kanan, dan kulihat sebuah rumah bambu berdiri megah di antara deretan real estate ala Eropa. Ia tampak begitu ramah dan menenangkan.
Kuhentikan Ford-ku tepat di depan pekarangannya. Rumah ini tak berpagar. Tak ada satpam. Kubiarkan mataku menikmati kecantikan rumah ini barang sejenak, sambil meyakinkan diri untuk bersiap masuk ke dalamnya.
Sebuah lonceng tembaga berukirkan ular yang tertombak di kepala tergantung di antara ventilasi pintu masuk rumah ini, menunggu tanganku menggoyangkannya barang sesenti sehingga ia bisa memberitahukan keberadaanku kepada sang empunya rumah. Tetapi jariku lebih tertarik untuk merabanya daripada membunyikannya.
Ular. Snake. SnakOm?
Aku tersenyum kesal.
Kenapa aku membiarkan kenaifan dan omong kosong ini mengganggu hidupku?
Dan aku pun bertambah kesal. Sudah seharian ini setiap detik pikiran dan tindakanku selalu dibayangi Consdafold dengan segala embel-embelnya. Mau tak mau imaji menjadi penyelamat dunia melambungkan kenaifanku. Dan kini baru aku sadari kenaifan-kenaifan bodoh ini. Mulai dari lelaki malaikat dengan nama sandi yang terdengar seperti mafia India, organisasi penjahat berlambang omega dengan nama yang mengingatkanku pada perusahaan jasa telekomunikasi, sampai identitas baruku dengan nama yang tak kalah menggebrak, Forgessa.
Sebenarnya aku sedang terjebak di telenovela mana? Kisah ini tidak lebih dari Saras 008!!
Tetapi sebenarnya, semakin aku ragu, semakin banyak pula hal yang meyakinkanku bahwa perihal SnakOm ini memang benar adanya. Ular tertombak ini salah satunya. Dan tentunya lelaki ini, yang tepat membukakan pintu saat aku baru akan membunyikan lonceng. Senyumnya ramah dan menawan. Dia sudah tahu maksud kehadiranku?
”Selamat datang, Ningsih...” sapanya ramah sambil mempersilakanku masuk. Aku melangkahkan kaki memasuki rumah bambu ini. Tembok dingin bercat pastel menggantikan ruas-ruas bambu pada dindingnya. Segera kukenali jam antik di sudut ruangan. Lukisan abstrak aneh dengan pola khas serta sofa acak adalah benda berikutnya yang terdeteksi oleh indera penglihatanku. Aku menoleh padanya dan tersenyum.
”Jadi kau salah satu dari mereka, Tri?”
Senyum teduhnya merekah, ”real estate selalu bisa jadi pengeruk uang, Ningsih... Setara dengan prostitusi.”
Aku tersenyum kecut. Tri Ramayana, raja real estate Asia. Sekali aku pernah melayaninya. Tak kusangka ada motif rahasia di balik bisnisnya. Kutunjukkan peta misterius yang kutemukan di kamarku sambil berharap mendapatkan sesuatu darinya. Mungkin aku sedang melangkah menuju pencerahan...
Monday, March 10, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment