Saturday, March 08, 2008

5 - NP

Aku terbangun lagi. Mataku berkerjap dan kepalaku terasa berat.

Apa lagi kali ini?

Hal pertama yang otakku perintahkan adalah mencari. Hanya mataku yang bergerak, menelanjangi seluruh ruangan. Butuh beberapa detik bagi otakku untuk memerintahkan anggota tubuh lain turut bergerak, menemani mataku menelusuri setiap jengkal ruangan, melewati pintu demi pintu di tempat asing yang tidak kukenal ini. Langkahku terhenti saat memasuki sebuah ruangan besar.

Tunggu.. Tidak kukenal?

Ada perasaan aneh dalam otakku ketika melihat ruangan ini. Jam antik di sudut ruangan itu. Lukisan abstrak aneh yang khas di dekatnya. Sofa yang tersusun acak... Aku mengenali ruangan ini!!

”Selamat malam, Nona,” sebuah suara bariton parau di belakangku segera membuat tubuhku berbalik dalam kepanikan. Sungguh tak terduga, seorang malaikat tampan nan bersahaja sedang berdiri dengan dramatis. Tangannya memegang dua gelas wine entah merk apa, dan caranya tersenyum membuatku seperti berada dalam telenovela. Aku sedikit terbius dengan pemandangan ini.

”Sirup vanila?” tawarnya manis. Sekarang aku benar-benar terbius. Sirup vanila?! Laki-laki ini sudah membuatku berada di suatu tempat antah berantah dengan cara yang dramatis dan muncul dengan cara yang sangat dramatis dan sekarang dia menawarkanku segelas minuman super dramatis dalam wujud segelas sirup vanila?! Aku rasa aku sedang berada dalam masalah.

”Terima kasih,” kupasang senyum termanisku. Kuraih gelas itu dari tangannya dengan meninggalkan sedikit sentuhan halus. Wajahnya masih tetap sama, tersenyum manis. Tapi senyumnya kini membuatku ngeri. Senyum itu begitu dingin. Begitu kejam.

”Kalau boleh tahu, Tuan yang membawa saya ke sini?” aku bertanya dengan sopan. Dia tak menjawabku kecuali dengan senyuman yang sama.

”Bagaimana saya sampai di sini?” aku masih berusaha sopan. Dia bergeming dengan senyumnya. Emosiku sedikit naik. Sirup vanila ini mulai terasa memuakkan.

”Apa mau Tuan?” Tidak salah lagi. Aku begitu yakin bahwa hal terakhir yang kulakukan dalam batas kesadaranku adalah keluar dari kamar Pak Yudi dengan cek puluhan juta di dalam lingerie-ku. Meskipun sekarang cek itu masih di tempatnya semula, menemukan diriku tiba-tiba terbangun di tempat asing bukanlah pertanda sesuatu berjalan baik-baik saja. Sekuat mungkin aku menatap ke dalam matanya, dan menjaga sikapku bagai seorang lady.

Aku ingin keluar dengan cara yang terhormat dari rumah ini.

Aku merasakan aura aneh di sini. Apakah dia bisa membaca pikiranku? Senyum itu masih sama. Tapi entah mengapa aku merasakan intensitasnya menguat. Aku merasa terhipnotis dengan mata itu. Terus menatap. Terus mendingin. Terus menghujam. Sekarang sudah terlalu terlambat untuk mengalihkan pandanganku darinya.

Aku melihatnya sekarang. Jelas. Dia berlari-lari dalam derasnya hujan. Matanya begitu dingin dan kosong. Dia terkontrol. Dia mencari sesuatu. Dia memegang sebuah peta. Aku memegang sebuah peta.

Aku tersentak keras. Aku merasa seperti kehilangan otakku.

Apakah tadi benar terjadi?

Lelaki ini tetap dalam mimik yang sama. Ambiguitas sempurna. Hangat yang dingin.

Apakah itu yang aku lakukan di malam-malam selama berminggu-minggu ini?

Lelaki ini seperti membaca pikiranku. Misteri telah dimulai.

Apakah aku harus kabur sekarang?

Dia menggeleng dalam senyum yang sama, suara magisnya pun akhirnya terdengar kembali:

”Aku menawarkan bisnis...”

No comments: